Sabtu, 17 Desember 2011

Melihat Bisnis Logistik dan SCM di Indonesia

Bisnis Logistik dan Supply Chain Management di Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan yang sangat berat dari para operator (provider/pemain) bisnis Internasional. Memang bisnis Logistic Supply di bidang ini sangat menggiurkan dan pangsa pasar yang ada di Indonesia masih besarnya
.
Dari besarnya peluang bisnis tersebut, baru 25% tergarap oleh para Courrier Service/pemain bisnis logistik Dalam Negeri (termasuk juga PT Pos Indonesia). Hal ini sejalan dengan studi yang dilakukan oleh United States Postal Service (USPS) bahwa nilai transaksi industri jasa perposan ekspres nasional tahun 2005 mencapai US$ 193.143 juta, 70% di antaranya dikuasai oleh jasa pengiriman asing, sedangkan 30% sisanya diperebutkan oleh jasa pengiriman domestik Logistic Supply (Bahagia, Investor Daily Online, 13 Januari 2006). Sedangkan berdasarkan hasil riset SWA menyatakan bahwa dalam tiga tahun terakhir rata-rata pertumbuhan ekspres di Indonesia sebesar 15%-20% dengan total besarannya adalah Rp.7,5 Trilyun.

Terlebih lagi di era globalisasi ini, tahun 2013 nanti persaingan antar pelaku bisnis kurir dan logistik akan lebih gencar lagi, mengingat para pelaku bisnis dari Luar Negeri akan ikut menikmati lezatnya kue bisnis logistic supply di Indonesia, yang saat ini pun sebenarnya sudah mulai terasa.

Melihat itu, para operator/pemain di Indonesia seyogyanya mulai saat ini tidak dapat lagi berpangku tangan (karena keran regulasi bidang bisnis kurir, logistic supply dan SCM sudah terbuka). Menghadapi hal itu, para operator/pemain Dalam Negeri harus sudah bersiap diri, melakukan pembenahan kualitas layanan, mempersiapkan SDM yang handal, dan perlu memperkuat persatuan dan kesamaan gerak antar para pelaku bisnis itu sendiri yang ada di Indonesia (dengan kata lain “merapatkan barisan”), serta perlu terpadunya program yang dirancang oleh Asosiasi Perusahaan Jasa Titipan Indonesia (ASPRINDO) sebagai wadah para Anggotanya dalam mengembangkan bisnis kurir, logistik, dan SCM (logistic supply).

Hal ini terungkap dalam seminar sehari yang diselenggarakan oleh ASPRINDO Wilayah Jawa Barat pada hari Sabtu, 25 Juli 2008 di Gedung Pos Jln. Banda 30 Bandung.
Seminar dengan tema “Kiat Sukses Bisnis dalam Melayani Pelanggan di Era Globalisasi” tersebut tergolong sukses dan mampu menarik perhatian sekitar 250 orang peserta dari berbagai pelaku bisnis logistic supply kurir dan logistik se-Jawa Barat. Dengan antusiasnya para peserta mengikuti materi seminar dan banyaknya pertanyaan-pertanyaan yang muncul, yang cukup menguras pemikiran para pemateri/fasilitator seminar.
Dari seminar sehari tersebut terbesit niatan para pemangku jabatan ASPRINDO Jawa Barat untuk lebih meningkatkan lagi aktifitas kordinasi antar Anggota melalui program-program terpadu yang bermanfaat langsung bagi para pelaku bisnis kurir dan logistik di Jawa Barat khususnya dan Dalam Negeri umumnya (logistic supply).
Salah satu bentuk program tersebut adalah kerjasama pemanfaatan Politeknik Pos Indonesia (selaku institusi pendidikan yang memiliki Jurusan Logistik Bisnis satu-satunya di Indonesia).

ken-sukses.blogspot.com

Solusi Dari Tantangan dan Masalah yang Dialami Para Industri Ritel

Gambaran mengenai rantai pasok yang ideal adalah dengan menyinkronkan  aktivitas disepanjang rantai pasok, mulai dari titik penjualan merunut kebelakang sampai dengan penyediaan bahan mentah. kita dapat mngambil contoh dari industri ritel dimana rantai pasok berperan penting, contohnya saja pusat distribusinya. di tempat ini setiap paket barang yang dari pabrik harus dibuka dan isinya diperiksa secara manual, baik kondisi maupun jumlahnya, dan kemudian ditentukan barang ini akan dikirim ke toko A, Toko B dst. proses ini pun akan semakin rumit ketika suatu paket terdiri dari beberapa jenis barang. ketika barang dikirim ke tempat tujuan, timbul lagi satu masalah baru, bagaimana kita melacak keberadaan barang, apakah sudah sampai di tujuan atau malah nyasar ke tempat lain?


Ritel adalah tahap akhir dari suatu distribusi, yaitu perpindahan produk secara fisik dari produsen hingga ke tangn konsumen. selain sebagai fungsi distribusi, retailer membentuk komunikasi antara pelanggan dengan perusahaan dan dengan distributor. Bisnis ritel terdiri dari beberapa aktivitas yang saling mendukung dan mempengaruhi sehingga terjadi kegiatan perdagangan antara pedagang dan konsumen. jadi bisnis ritel tidak bisa terdiri dari satu kegiatan saja karena bisnis ritel terlibat dalam penjualan barang dan jasa kepada konsumen untuk kebutuhan mereka, sehingga dapat dikatakan ritel juga merupakan bisnis yang berinteraksi langsung dengan konsumen. Ritel berbeda dengan distributor, yang merupakan perantara dalam proses distribusi produk dan jasa karena tidak menjual produk  dan jasa kepada konsumen akhir melainkan kepada pelaku bisnis seperti pabrik dan pengecer. oleh karena itu dalam saluran distribusi, retailing memainkan suatau peranan penting sebagai penengah antara produsen, agen, dan para pemasok lain dengan para konsumen akhir.

Di toko, gerai, supermarket, hypermarket atau lainnya yang menjadi tempat interaksi perusahaan ritel dengan para konsumennya, masalah dan tantangan yang dihadapi pun tidak sedikit. Seringkali, para peritel tidak selalu tahu berapa aset yang mereka miliki ataupun keberadaannya. Sebagai kompensasinya, mereka pun selalu menyetok barang.

Solusi semacam ini jelas membutuhkan biaya yang tidak sedikit, dan tidak seluruhnya memecahkan masalah. Belum lagi, masalah-masalah yang terkait dengan ketidakcocokan antara jumlah barang dalam sistem inventaris dengan hasil pengecekan fisik pada saat proses stock opname misalnya, baik akibat salah input maupun akibat pengutilan barang.

Bisa juga masalah itu datang dari segi konsumen, mungkin beberapa orang pernah mengalami ketika sudah sampai disupermarket tenyata barang yang kita cari tidak ada dirak yang seharusnya, dan ketika menanyakan kepada petugas mereka menjawab tidak thau.atau ketika kita sudah mendapatkan barng yang kita cari, kita harus menghadapi antrian yang sangat panjang di kasir, mungkin antrian tadi tidak seberapa di banding saat kita tiba dirumah dengan barang belanjaan kita, kita menemukan sebuah barang yang sudah melewati batas kadaluarsa.

situasi yang dihadapi oleh industri ritel semacam itu mungkin hanya sebagian kecil dari contoh masalah dan tantangan yang dihadapi oleh para industri ritel saat ini. selain harus menghadapi inventory chaos, para peritel juga dihadapkan pada karakteristik konsumen yang terus berubah, jadi selain keakuratan harga, ukuran terpenting dalam kepuasan konsumen adalah sistem check out yang efisien dan ketersediaan barang. selain itu konsumen pun semakin pintar, mereka cenderung tidak loyal pada satu entitas ritel tertentu dan sangat sensitif terhadap harga, waktu, value, dan informasi. meski sebagian besar para industri ritel tahu tentang masalah ini dan berusaha menghadapinya, namun konsumen selalu menuntut lebih.
Masalah-masalah seperti itu mungkin saja bisa dipecahkan oleh beberapa macam cara, pertama kita harus menumbuhkan relationship marketing yaitu pendekatan pelanggan pemasaran pada pelanggannya yang meningkatkan pertumbuhan jangka panjang perusahaan dan kepuasan maksimum pelanggan, pelanggan yang baik merupakan suatu aset dimana bila ditangani dan dilayani dengan baik akan memberikan pendapatan dan pertumbuhan jangka panjang bagi suatu badan usaha.

Mungkin kita dapat mengambil contoh dari Toserba Yogya, dimana perusahaan tersebut mengutamakan pelayanan yang baik, dengan cara mengajak pelanggan menjadi membership Yogya, dengan begitu pelanggan akan mendapatkan diskon apabila telah menjadi member Yogya. contoh lain pemecahan masalah dimana konsumen kesal ketika harus mengantri panjang di kasir padahal tidak banyak produk yang dia beli, Toserba Yogya seperti yang saya alami mereka mempunyai kassa dimana hanya max 6 barang saja yang dapat dilakukan transaksi pembayaran pada kassa tersebut. cara seperti ini dapat memudahkan para konsumen yang tidak membeli terlalu banyak barang tidak perlu mengantri di kassa terlalu lama.
Contoh yang lainnya adalah di SOGO departement Store, mereka berpendapat mengenai customer service yaitu merupakan aktivitas tang dilakukan oleh ritel yang berkaitan dengan konsumen yang membeli jasa atau barang yang mereka jual. cutomer service sangat diperlukan untuk membina hubungan jangka panjang dengan cara memberikan pelayanan tambahan sehingga membedakan antara produk perusahaan dan produk pesaing. Dengan bertambahnya perusahaan ritel maka tidak salah jika customer service di perlukan untuk mempertahankan pelanggan.

ataupun seperti yang telah diterapkan oleh perusahaan-perusahaan diseluruh dunia yaitu Loyalty Programs ialah program promosi yang dirancang ubtuk membangun hubungan jangka panjang yang saling menguntungkan antara perusahaan dengan pelanggan. kuncinya untuk mencipyakan pembelian yang terus-menerus dari sebuah produk atau jasa tertentu.

Ada juga cara-cara lain misalnya dengan memberikan website khusus untuk pelanggan yang ingin memberikan saran dan kritik, dimana dalam website tersebut pelanggan juga dapat melihat produk-produk terbaru dari perusahaan itu.

Beberapa cara penanganan diatas dilakukan dengan harapan akan ada hubungan yang baik antara pelanggan maka akan terjadi ikatan emosional yang semakin baik dan hal ini akan membantu untuk menciptakan ikatan yang semakin harmonis dengan pelanggan.

Source : http://onlinebuku.com/2008/11/12/solusi-dari-tantangan-dan-masalah-yang-dialami-para-industri-ritel/

Kendala-kendala yang terjadi dalam proses tranportasi di dalam SCM

  
TransportDi dalam suatu perusahaan, Suply Chain Management (SCM) sangat berperan penting bahkan menjadi kunci sukses dalam memberikan pelayanan kepada konsumen dan memenangkan persaingan. Di dalam SCM terdapat suatu tahapan yang sangat perlu untuk diperhatikan yaitu Transportasi

Transportasi sangatlah berperan penting dalam suatu perusahaan, akan tetapi sering kali dalam proses distribusi barang atau jasa sangat mungkin terjadi yang namanya kendala-kendala di luar dugaan yang bisa menghambat suatu pekerjaan bahkan dapat merugikan perusahaan baik secara materil maupun imateriil adapun kendala-kendala tersebut sering kali membuat para pengusaha mengeluh kesah.

Adapun beberapa kendala yang dikeluhkan para pengusaha adalah: kemacetan, pungutan liar, insfrastruktur yang sangat memprihatinkan seperti jalan rusak.kondisi pelabuhan yang sangat semrawut, mahalnya ongkos transportasi seperti mahalnya bahan bakar dan ongkos supir .kendala-kendala tersebut merupakan suatu hal yang lazim terjadi di Negara ini akan tetapi bila hal tersebut terus dibiarkan maka akan menjadi suatu preseden yang sangat buruk bagi Negara kita dan yang menjadi korban bukan hanya pengusaha akan tetapi masyarakat pun menjadi korban karena harus membayar harga yang lebih mahal barang yang dibutuhkan akibat dari keterlambatan barang.

Salah satu yang sering dikeluhkan oleh para pengusah adalah kemacetan hal ini merupakan suatu hal yang sangat tapi berdampak sangat luas seperti pemakaian bahan bakar manjadi boros serta produk-produk yang dikirim banyak yang rusak sehinnga ketika barang sampai ke tangan konsumen banyak dikembalikan kembali itu menyebabkan pengusaha merugi

Hal seperti itu perlu mendapat perhatian khusus dari para pengusaha supaya kedepan hal-hal yang seperti itu bisa diminimalisir seperti dengan cara memperbaiki sistem kerja dan memberikan pelatihan khusus kepada para pegawai supaya mereka mempunyai rasa tanggung jawab akan pekerjaannya di harapkan dengan cara-cara tersebut bisa meningkatkan kinerja setiap pegawai dan hal-hal yang tidak di inginkan pun bisa dihindarkan.

1.Berikut ini beberapa artikel tentang usaha-usaha para pengusaha memerangi Pungutan Liar
Buruh tidak harus berseteru dengan pengusaha dalam menuntut kenaikan upah minimum karena pengusaha juga tertekan oleh kebijakan pemerintah yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. Semestinya buruh dan pengusaha bersatu melawan praktik pungli yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi.
Ketua Umum Serikat Pekerja Rakyat Indonesia Ruslan Effendy  mengatakan, berbagai kebijakan di daerah, yang termuat dalam peraturan daerah, memperparah ekonomi biaya tinggi.
Banyak peraturan yang sangat merugikan pengusaha dan pada gilirannya berpengaruh terhadap kemampuan pengusaha meningkatkan kesejahteraan buruh.
Dia menyebut contoh, pedagang daging dan sayuran harus mengurus izin tersendiri. Bahkan untuk pembuatan eskalator juga memerlukan izin yang biayanya disesuaikan dengan jumlah karyawan yang menggunakannya.
“Itu baru sebagian contoh kecil dari ekonomi biaya tinggi akibat otonomi daerah. Belum lagi pungutan-pungutan liarnya, benar-benar high cost economy,” katanya.

Peraturan Daerah
Ruslan mendesak Menteri Dalam Negeri untuk segera meninjau berbagai peraturan daerah yang berpotensi menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Perda-perda itu diberlakukan atas pengesahan Departemen Dalam Negeri.
Ketua Umum Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Jacob Nuwa Wea dan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi berulang kali meminta pemerintah serius menghapuskan ekonomi biaya tinggi akibat berbagai pungutan tak resmi. “Kalau pos biaya aneh-aneh itu dihitung besarnya bisa mencapai 30 persen dari biaya produksi,” kata Wanandi.
Jacob mengemukakan, bila alokasi dana pengusaha untuk biaya aneh-aneh itu dapat dipangkas kemudian dialokasikan untuk buruh.
Dengan demikian esejahteraan buruh akan jauh meningkat. Biaya aneh-aneh yang 30 persen itu jauh melebihi proporsi labour cost di Indonesia.
Mengenai besaran kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2006, Wanandi mengemukakan, pihaknya mengimbau pengurus Apindo daerah untuk mengusulkannya berdasarkan rata-rata laju inflasi, yakni sekitar 15 persen. Alasannya, kenaikan UMP harus disesuaikan dengan kemampuan perusahaan di suatu daerah dan juga harus dibedakan antara perusahaan padat modal dan padat karya.
Dikemukakan, perusahaan memahami kesulitan pekerja memenuhi kebutuhan hidupnya pascakenaikan harga BBM. Tapi, pekerja juga diimbau memahami kesulitan pengusaha.
Sebagian besar perusahaan sekarang tidak sehat karena menurunnya penjualan yang berkisar 10-30 persen akibat menurunnya daya beli masyarakat. Apindo menilai kenaikan UMP 2006 sebesar 15 persen adalah sesuai dengan laju inflasi. Pengusaha juga diimbau menaikkan uang transpor dan uang makan pekerja.
Jacob mengatakan, tidak sependapat dengan usulan Apindo. “Kenaikan upah minimum provinsi mengacu pada laju inflasi maka kenaikan UMP itu sama saja dengan menipu buruh. Itu sama saja dengan tidak ada kenaikan upah,” katanya.
Alasannya, penetapan UMP sekarang tidak lagi berdasarkan kebutuhan hidup minimum (KHM), melainkan berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL). Dicontohkan, penetapan UMP di DKI yang hanya Rp 819.100 per bulan, sementara jika mengacu pada KHL, selayaknya menjadi sekitar Rp1,2 juta.

Rendah
Secara terpisah, Humas Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Andy William Sinaga mengemukakan, penetapan upah minimum di Indonesia sangat jauh dari pemenuhan kebutuhan hidup dasar buruh. Secara umum tingkat upah di Indonesia khususnya di sektor industri masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, Brunei, dan Filipina.
Hasil survei di sentra-sentra industri di Jakarta, Tangerang, Karawang, Surabaya, Bandung, Sumatera Utara, Batam, dan Riau, menunjukkan hampir 70 persen dari sampel menyatakan upah bulanan mereka tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar keluarga. Hampir 50 persen dari upah itu untuk biaya transportasi. Selebihnya habis untuk biaya kebutuhan sehari-hari dan uang sekolah anak-anak.
Hasil survei itu juga menunjukkan, tingkat pengeluaran buruh berkisar antara Rp 900.000 hingga Rp 1,8 juta. Kalau di Jakarta upah minimum ditetapkan Rp 819.000 berarti buruh masih menombok setiap bulan, katanya.

Sementara itu, unjuk rasa terus-menerus dari sekitar 200 buruh yang tergabung dalam Aliansi Peduli Upah (APU) Cimahi 2006 di Gedung Sate, Bandung,, membuahkan hasil. Gubernur Jawa Barat melalui Wakilnya Nu’man Abdul Hakim mengirimkan surat kepada Wali Kota Cimahi Itoch Tochija untuk meninjau kembali besaran rekomendasi upah minimum yang akan disahkan oleh Gubernur Jabar.
Dalam surat bernomor 561/4305/Bangsos yang bersifat penting tersebut, Gubernur Jabar menyatakan telah menerima aspirasi dari APU Cimahi dan meminta kepada Itoch untuk mendalami dan mengkaji rekomendasi upah minimum
untuk itu perlunya peran pemerintah dan aparat keamanan dalam menylesaikan masakah pungutan liar tersebut..
sekian

Source : http://onlinebuku.com/2008/12/03/kendala-kendala-yang-terjadi-dalam-proses-tranportasi-di-dalam-scm/

Strategi Bulog untuk Menekan Harga Gula di Pasaran


Krisis Ekonomi Dunia yang berkepanjangan bukan hanya berdampak pada negara maju seperti Amerika dan Eropa namun juga terhadap negara-negara berkembang salah satunya adalah Indonesia. Semua harga harga produk baik produk local maupun yang impor terkena imbasnya krisis ekonomi ini, sehingga harga yang melambung tinggi ini sulit untuk dijangkau oleh pembeli. Seperti halnya produk gula dalam negeri yang sebelumnya terjadi kenaikan harga karena Krisis ekonomi ini. Terjadinya kenaikan harga ini dikarenakan persediaan bahan baku gula yang menipis. Petani Tebu lokal mengalami masa sulit panen dalam beberapa bulan karena persediaan pupuk yang terbatas dan juga harganya pupuk yang melambung tinggi. Persediaan bahan baku gula yang terbatas ini secara otomatis mengakibatkan harga gula pun naik dan persedian gula pun terbatas, di lain pihak permintaan pembeli akan gula terus meningkat.

Menaggapi hal ini, maka langkah yang diambil pemerintah sebagai respon untuk menurunkan harga gula di pasaran sangatlah tepat. Kerja sama yang dilakukan oleh Perum BULOG dan beberapa PT Perkebunan Nusantara dalam mengembangkan jaringan distribusi gula pasir alternatif dan dengan kerja sama ini memungkingkan Perum BULOG dapat menjual gula dengan harga yang relatife lebih murah dibandingkan dengan distributor lain. Masuknya Perum BULOG dalam mata rantai distribusi gula ini pula akan sangat menguntungkan petani tebu, karena dalam kerja sama ini BULOG membeli gula pasir PTPN (PT. Perkebunan Nusantara) dan RNI (Rajawali Nusantara Indonesia) dengan harga Rp. 5.200 per Kg dan menjualnya dengan harga diatas Rp 5.300 per Kg dan dengan harga jual yang sedikit Rp 5.300 per Kg inik akan menyeret turun harga gula di tingkat konsumen serta dapat membuat produk gula pasir lokal lebih kompetitif.

Artikel ini diangkat dari harian umum KOMPAS rubrik Bisnis dan Keuangan pada Kamis 27 Nopember 2008
Source : http://onlinebuku.com/2009/03/11/strategi-bulog-untuk-menekan-harga-gula-di-pasaran/

Manajemen Persediaan (Inventory)


KONSEP DASAR
Definisi: Persediaan merupakan simpanan material yang berupa bahan mentah, barang dalam proses dan barang jadi.

Pengendalian persediaan: aktivitas mempertahankan jumlah persediaan pada tingkat yang dikehendaki. Pada produk barang, pengendalian persediaan ditekankan pada pengendalian material. Pada produk jasa, pengendalian diutamakan sedikit pada material dan banyak pada jasa pasokan karena konsumsi sering kali bersamaan dengan pengadaan jasa sehingga tidak memerlukan persediaan.

MENGAPA PERSEDIAAN DIKELOLA?
1.        Persediaan merupakan investasi yang membutuhkan modal besar.
2.        Mempengaruhi pelayanan ke pelanggan.
3.        Mempunyai pengaruh pada fungsi operasi, pemasaran, dan fungsi keuangan.

JENIS PERSEDIAAN
1.          Persediaan barang jadi biasanya tergantung pada permintaan pasar (independent demand inventory)
2.          Persediaan barang setengah jadi dan bahan mentah ditentukan oleh tuntutan proses produksi dan bukan pada keinginan pasar (dependent demand inventory).

KAPASITAS VS PERSEDIAAN
Kapasitas: merupakan kemampuan untuk menghasilkan produk
Persediaan: semua persediaan material yang ditempatkan di sepanjang jaringan proses produksi dan jalur distribusi.

TUJUAN PERSEDIAAN
1.   Menghilangkan pengaruh ketidakpastian (mis: safety stock)
2.   Memberi waktu luang untuk pengelolaan produksi dan pembelian
3.   Untuk mengantisipasi perubahan pada permintaan dan penawaran.

HAL-HAL YANG DIPERTIMBANGKAN
1.   Struktur biaya persediaan.
a.    Biaya per unit (item cost)
b.   Biaya penyiapan pemesanan (ordering cost)
-        Biaya pembuatan perintah pembelian (purchasing order)
-        Biaya pengiriman pemesanan
-        Biaya transportasi
-        Biaya penerimaan (Receiving cost)
-        Jika diproduksi sendiri maka akan ada biaya penyiapan (set up cost): surat menyurat dan biaya untuk menyiapkan perlengkapan dan peralatan.
c.    Biaya pengelolaan persediaan (Carrying cost)
-        Biaya yang dinyatakan dan dihitung sebesar peluang yang hilang apabila nilai persediaan digunakan untuk investasi (Cost of capital).
-        Biaya yang meliputi biaya gudang, asuransi, dan pajak (Cost of storage). Biaya ini berubah sesuai dengan nilai persediaan.
d.   Biaya resiko kerusakan dan kehilangan (Cost of obsolescence, deterioration and loss).
e.    Biaya akibat kehabisan persediaan (Stockout cost)
2.   Penentuan berapa besar dan kapan pemesanan harus dilakukan.

METODA MANAJEMEN PERSEDIAAN
A.   METODA EOQ (ECONOMIC ORDER QUANTITY)
B.    METODA SISTEM PEMERIKSAAN TERUS MENERUS (CONTINUOUS REVIEW SYSTEM)
C.    METODA SISTEM PEMERIKSAAN PERIODIK (PERIODIC REVIEW SYSTEM)
D.   METODA HYBRID
E.    METODA ABC
METODA EOQ
ASUMSI:
1.   Kecepatan permintaan tetap dan terus menerus.
2.   Waktu antara pemesanan sampai dengan pesanan dating (lead time) harus tetap.
3.   Tidak pernah ada kejadian persediaan habis atau stock out.
4.   Material dipesan dalam paket atau lot dan pesanan dating pada waktu yang bersamaan dan tetap dalam bentuk paket.
5.   Harga per unit tetap dan tidak ada pengurangan harga walaupun pembelian dalam jumlah volume yang besar.
6.   Besar carrying cost tergantung secara garis lurus dengan rata-rata jumlah persediaan.
7.   Besar ordering cost atau set up cost tetap untuk setiap lot yang dipesan dan tidak tergantung pada jumlah item pada setiap lot.
8.   Item adalah produk satu macam dan tidak ada hubungan dengan produk lain.\

Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum menghitung EOQ:
D: Besar laju permintaan (demand rate) dalam unit per tahun.
S: Biaya setiap kali pemesanan (ordering cost) dalam rupiah per pesanan
C: Biaya per unit dalam rupiah per unit
i: Biaya pengelolaan (carrying cost) adalah persentase terhadap nilai persediaan per tahun.
Q: Ukuran paket pesanan (lot size) dalam unit
TC: Biaya total persediaan dalam rupiah per tahun.
Biaya pemesanan per tahun (Ordering cost):
    OC   = S (D/Q)

Biaya pengelolaan persediaan per tahun (Carrying cost)
    CC   = ic (Q/2)

Maka, total biaya persediaan:
    TC   = S (D/Q) + ic (Q/2)

 source : luluk.staff.gunadarma.ac.id/












Review Jurnal

ANALISIS DILEMA DALAM KOLABORASI RANTAI PASOK

Yuanita Handayati

Sekolah Bisnis Manajemen - Institut Teknologi  Bandung

Togar M. Simatupang

Sekolah Bisnis Manajemen -  Institut Teknologi Bandung


Didalam paper ini penulis ingin memaparkan mengenai dilemma-dilema yang muncul dalam berinteraksi antar anggota rantai pasok. Dilema-dilema tersebut harus dihilangkan sehingga tercipta suatu kolaborasi antar anggota rantai pasok yang akan membawa pada efektifitas dan efisiensi suatu rantai pasok dan untuk memaksimalkan hasil atau profit dari keseluruhan rantai pasok. Konsep dari kolaborasi antar anggota didalam rantai pasok merupakan suatu cara untuk mencapai sinergi di dalam suatu rantai pasok. Seperti yang kita tahu bahwa dalam rantai pasok di perusahaan manufaktur sering terjadi pembesaran variabilitas permintaan yang dikenal dengan efek cambuk sapi (bullwhip effect). Ketidakefisienan dari efek ini antara lain adalah kelebihan persediaan, penurunan tingkat pelayanan terhadap pelanggan, transportasi yang tidak efektif, dan keterlambatan produksi. Koordinasi rantai pasok memerlukan setiap anggota rantai pasok untuk memperhatikan akibat dari tndakan yang diambil terhadap anggota rantai pasok lainnya.

Biasanya fenomena efek cambuk sapi digambarkan dengan menggunakan teori permainan, simulasi beer game, namun pada paper ini penulis mengilustrasikan fenomena efek cambuk sapi meggunakan teori drama. Interaksi antara peritel dan pemasok diperlihatkan di setiap episode, dimana mereka berusaha menghilangkan dilemma yang ada dengan memberikan option kerangka berpikir baru. Setelah dilemma-dilema yang ada berhasil dikurangi atau dihilangkan, maka diharapkan tercipta suatu kolaborasi antara peritel dan pemasok.

Hal pertama yang dilakukan penulis pengambilan data dilakukan dengan beberapa cara, dengan melakukan observasi dan pengamatan lapangan serta melakukan wawncara dengan pihak-pihak terkait. Penulis lebih memfokuskan pada permasalahan bullwhip effect, dari sini ingin dilihat penyebab masalah bullwhip effect ini yang terjadi antara peritel dengan pemasoknya dan juga ingin menggambarkan bagaimana kedua belah pihak berkeinginan untuk berkolaborasi untuk mengurangi permasalahan efek tersebut. Setlah dianalisis penyebab permasalahannya apa dan mengusulkan bahwa berkolaborasi adalah cara yang tepat untuk mengurangi efek tersebut. 

Penggunaan drama teori dapat menggambarkan pilihan dan ancaman yang diberikan oleh masing-masing pihakdalam menjalankan rantai pasoknya sehingga efek cambuk sapi ini muncul, dan dari teori tersebut dapat pula ditentukan dilema-dilema yang muncul pada masing pihak.

Peramalan permintaan yang diperbaharui secara terus menerus menjadi masalah karena adanya hambatan dalam proses informasi. Kurangnya berbagi informasi antara peritel dan pemasoknya menyebabkan peramalan yang dilakukan pemasok berdasarkan dari hilir (peritel) bukan berdasarkan permintaan konsumennya. Menurut penulis, peritel akan mengalami dilemma percaya terhadap pemasoknya ketika peritel akan memberikan informasi yang dimilikinya mengenai permintaankonsumen sebenarnya dan pemasok berjanji untuk memberikan pilihan tertentu kepada peritel untuk informasi yang diberikannya.
Peritel juga akan mengalami dilemma ancaman terhadap pemasoknya ketika peritel memberikan ancaman kepada pemasoknya untuk mnjalankan pilihan yang telah ditawarkan pemasok kepada peritel. Apabila pilihan tersebut tidak dijalankan oleh pemasok, maka peritel tidak akan memberikan inormasi kepada peritel.
Dilemma lain yang dapat muncul adalah dilemma kerjasama, dimana pemasok tergoda untuk tidak berkomitmen dengan posisi yang ditawarkannya kepada peritel karena ada pilihan lain yang dirasa baik.

Pengelompokan pesanan, terjadi karena adanya hambatan operasional, pengaruh dari penempatandan pemenuhan pesanan yang dapat meningkatkan terjadinya distorsi besarnya permintaan
Dari hambatan ini peritel mengalami dilemma penolakkan, ketika peritel ingin agar pemasok tidak memberlakukan adanya syarat lot size sehingga dalam jumlah sedikit pun peritel dapat melakukan pemesanan. Dilemma penolakkan terhadap pemasok, dapat terjadi pada peritel bila peritel memiliki hambatan untuk meyakinkan pemasok bahwa pemasok bahwa peritel serius dengan penolakkannnya terhadap syarat jumlah pemesanan yang diberikan oleh pemasok.
Pemasok juga mengalami dilemma ,ketika pemasok tidak menginginkan adanya pemesanan dalam jumlah yang terlampau sedikit dengan rekuensi yang sering, karena biaya yang dikeluarkan untuk proses produksi dan pengiriman akan tinggi. Pemasaok lebih memilih untuk melakukan pemesanan dalam jumlah banyak (akumulasi) walaupun dengan frekuensi yang tidak sering

Fluktuasi harga terjadi ketika diberlakukannya kebijakan harga suatu produk yang mengakibatkan adanya distorsi besarnya pemesanan yang memicu terjadinya penimbunan barang karena ingin memanfaatkan kesempatan adanya harga yang lebh murah dari harga biasanya. Ketika peritel membeli banyak saat diskon karena ingin memanfaatkan harga murah dari biasanya tetapi peritel tidak  memperhatikan biaya untuk persediaan yang akan dikelarkannya, maka peritel akan mengalami dilemma persuasive.

Review Jurnal


FLEXIBILITY FROM A SUPPLY CHAIN PERSPECTIVE: DEFINITION AND REVIEW

Mark Stevenson and Martin Spring (2007)

International Journal of Operations & Production Management Vol. 27 (7), 685-713

Pendahuluan Market saat ini menginginkan produk yang lebih customized  dengan lead time yang pendek sehingga menyebabkan perusahaan harus lebih fleksibel. Fleksibilitas penting dalam mencapai keinginan pelanggan dan meningkatkan responsiveness. Dalam Manajemen Operasi, sering juga dibahas mengenai masalah fleksibilitas dimana ditinjau dari sudut pandang perusahaan. Namun masalah flexibilitas yang dibahas hanya terkait dengan intra-organizational components (mix, product, volume, and routing flexibility) dan lingkungan kerja. Adanya outsourcing menyebabkan kepercayaan dari perusahaan kepada penyedia jasa dan supplier semakin meningkat sehingga perusahaan semakin sadar akan pentingnya mengelola dan mengintegrasikan nilai-nilai yang ada dalam supply chain. Ini menyebabkan flexibility yang ada bukan lagi hanya pada level perusahaan, tapi berada pada level supply chain (Flexible Supply Chain). Namun sampai saat ini belum ada upaya untuk menyajikan kajian literatur terhadap penelitian yang telah dilakukan terkait dengan supply chain flexibility. Penelitian yang ada hanya membahas mengenai masalah teoritis dan konseptual dari flexibility sampai melakukan studi eksplorasi empiris saja. Sehingga perlu menggambarkan kemajuan penelitian terkait supply chain flexibility untuk memberikan gambaran tetang penelitian yang akan datang.

Tujuan dan Batasan
Dalam penelitian ini, ingin disajikan suatu literatur terkait supply chain flexibility dimana bukan saja membahas mengenai komponen yang melekat pada intra-firm level namun juga pada inter-firm level. Penelitian ini ingin memfokuskan pada komponen fleksibilitas dari inter-firm dan tidak membahas mengenai masalah terkait intra-firm yang biasanya dibahas pada banyak penelitian terdahulu. Pada penelitian terdahulu, banyak penelitian terkait supply chain flexibility yang sudah dilakukan namun semuanya tidak memfokuskan supply chain flexibility sebagai inti dari penelitian yang dilakukan. Maka penelitian ini ingin membahas mengenai supply chain flexibility secara eksplisit sebagai fokus dari penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan judul, kata kunci, dan abstrak. Data yang digunakan berasal dari MetalibTM database yang berisi kumpulan literatur terkait business and management dan disimpan menggunkan software Endnote ©. Tujuan dari penelitian yang dilakukan:
  • Menggali lebih dalam pengertian fleksibitas dalam konteks supply chain
  • Memberikan tinjauan terkait literatur Supply chain flexibility yang ada.
Defining Supply Chain Flexibility
Supply chain didefinisikan sebagai kelompok perusahaan yang terlibat dalam rangkaian kegiatan produksi dan distribusi yang dibutuhkan untuk melayani end-customer. Christopher (1998) mendefiniskan supply chain sebagai jaringan organisasi (network of organizations) yang terlibat, yang terhubung dari hulu sampai hilir, dengan proses dan kegiatan yang berbeda untuk menghasilkan nilai dalam bentuk produk dan layanan di tangan konsumen akhir. Dimana dia mendefinisikan network sebagai gabungan lebih dari 2 perusahaan. Dalam litertur terkait manufacturing flexibility, definisi dari flexibility dilihat dari beberapa sudut padang serta konteks yang berbeda oleh beberapa peneliti. Misalnya definisi flexibility yang diberikan oleh Slack (1983) dan Upton (1994) dikaitkan dengan range, mobility, dan uniformity. Koste and Malhotra (1999) kemudian menambahkannya menjadi range-number, range-heterogeneity, mobility, dan uniformity. Terdapat beberapa komponen yang mempengaruhi fleksibilitas pada suatu perusahaan. Slack (1983) menyatakan bahwa terdapat 5 tipe/komponen dari fleksibilitas (new product, product mix, quality, volume, delivery). Gerwin (1978) menyatakan bahwa terdapat 7 tipe. Koste and Malhotra (1999) dan Narasimhan and Das (2000) menambahkannya menjadi 10 tipe, sedangkan Vokurka and O’Leary-Kelly (2000) menambahkannya menjadi 15 tipe (machine, material handling, operations, automation, labour, process, routing, product, new design, delivery, volume, expansion, program, production and market). Secara umum, prinsip fleksibilitas dalam supply chain adalah:
  • multi-dimensional
  • elemen fleksibilitas memiliki tingkat kepentingan yang berbeda pada lingkungan yang berbeda.
  • kapabilitas yang tidak harus ditunjukkan
Terdapat beberapa definisi yang berbeda terkait supply chain flexibility, Das and Abdel-Malek (2003) mendefisikan sebagai “elasticity” dari hubungan buyer-supplier pada kondisi supply yang berubah-ubah. Ferdows (1997) mendefisikannya sebagai “robust networks,” sebuah jaringan yang dapat mengatasi perubahan dalam lingkungan yang kompetitif tanpa menyebabkan perubahan ekstrim. Sedangkan Easton and Rothschild (1987) mendefisikannya sebagai “adaptability”, kemampuan untuk melakukan re-design dan re-configure terhadap chain yang ada. Dari beberapa pengertian tersebut, supply chain flexibility dapat didefisikan sebagai respon dari perubahan permintaan. Beberapa peneliti juga telah menjabarkan komponen dari supply chain flexibility, dimana hampir sama dengan komponen dari flexibility pada tingkat manufacture. Lummus et al. (2003) menyatakan bahwa terdapat 6 komponen supply chain flexibility, yaitu operational system, logistics processes, supply network, organisational design flexibility, dan information systems flexibility. Sedangkan Gosain et al. (2005) hanya mengkategorikankan kedalam offering flexibility dan partnering flexibility. Vickery et al. (1999) dan Sanchez and Perez (2005) menjabarkan komponen dari supply chain flexibility kedalam 7 komponen, yaitu product, volume, launch (or new product), distribution (or delivery), postponement, sourcing, dan responsiveness (to target markets) flexibility. Berikut ini merupakan 5 elemen yang dapat memberikan gambaran menyeluruh mengenai pengertian dari supply chain flexibility:
–        Robust network (or rigid) flexibility, cakupan dari kejadian/keadaan yang masih dapat diatasi oleh kondisi supply chain yang ada tanpa merubah supply chain tersebut.
–        Re-configuration flexibility, kemudahan supply chain dalam melakukan re-configured (adaptability).
–        Active flexibility, kemampuan dalam menanggapi perubahan dalam supply chain.
–        Dormant (or potential) flexibility, fleksibilitas dari supply chain tidak perlu dibuktikan
–        Network alignment, setiap entitas berfokus dalam menyelaraskan kemampuannya untuk mencapai tujuan dari supply chain. Tabel 1 menyajikan komponen fleksibilitas mulai dari fleksibilitas operasional di lantai produksi sampai supply chain flexibility di tingkat jaringan (network).
Hierarchical Level
Flexibility Dimension
Operational flexibilities (resource and shop floor level)
Machine, Material Handling, Operations, Automation, Labour, Process, Program, Output
Tactical flexibilities (plant level)
Product/modification, Volume, Delivery, Production
Strategic flexibilities (firm level)
New Design, Expansion, Market
Supply chain flexibilities (network level)
Robustness, Re-configutation, Relationship, Logistics, Organisational, Inter-organisational, Information system (IS)
Tabel 1. Komponen Fleksibilitas

Measuring the Flexibility of Supply Chain
Banyak penelitian yang berfokus pada pengukuran manufacture flexibility, namun sulit untuk mengukur fleksibilitas karena alat ukurnya subjektif dan situasional (tidak general) serta fleksibilitas adalah sesuatu yang multi-dimensional dimana 2 supply chain dapat fleksibel, namun dengan cara yang berbeda. Disamping itu, masih sangat sedikit literatur yang membahas mengenai cara untuk mengukur fleksibilitas dalam supply chain. Peneltitian terkait pengukuran fleksibilitas dalam supply chain dapat dibagi dalam pengukuran menggunakan hard factor (Beamon, 1999; Giachetti et al., 2003), pengukuran secara langsung. Dan pengukuran menggunakan soft factor (Gupta and Nehra, 2002; Pujawan, 2004), menggunakan skala likert dan pendapat ahli. Walaupun peneltian yang dilakukan memberikan kontribusi, namun hanya beberapa komponen dari supply chain flexibility yang dipertimbangkan dan belum digambarkan secara jelas bagaimana hal tersebut dapat diterapkan pada kondisi nyata. Disamping itu masih sangat sulit untuk membandingkan fleksibilitas antara suatu supply chain dengan supply chain yang lain karena dibutuhkan ukuran yang lebih komprehensif dan objektif dalam mengukur supply chain flexibility.

Supply Chain Flexibility: a review and research agenda
Penelitian terdahulu terkait supply chain flexibility dapat dikategorikan kedalam 4 kategori, yaitu:
  1. Linking the firm to the wider supply chain, hampir semua penelitian terdahulu membahas mengenai volume flexibility (faktor penting dalam manufacture flexibility). Namun tiap supply chain memiliki komponen fleksibilitas yang berbeda sehingga perlu menggabungkan volume flexibility dengan komponen fleksibilitas lain.
  2. The design of supply chain, semua penelitian terdahulu memiliki keterbatasan dalam mengambarkan kondisi supply chain yang ada dalam kenyataan sehingga perlu dilakukan eksplorasi terkait hubungan antara desain supply chain dan fleksibilitas dalam cakupan yang lebih luas sehingga bukan lagi single-stage namun menjadi multi-stage.
  3. Supply chain relationships, penelitian terdahulu mengkaitkan dengan procurement flexibility dimana banyak terdapat unsur intangible. Disamping itu hampir semua penelitian hanya dilihat dari sudut pandang supplier dan penelitian yang dilakukan kebanyakan hanya pada 1st tier relationship. Belum ada yang mengambarkan joint benefit yang terjadi dari fleksibilitas pada buyer-supplier relationships.
  4. Information sharing and inter-organizational information systems, semua penelitian terdahulu mengatakan bahwa information sharing dan information systems memberikan dampak positif terhadap fleksibilitas. Selain itu initiator memperoleh keuntungan yang lebih dibandingkan dengan non-initiator dalam penerapan inter-organizational system. Namun penelitian yang dilakukan, hanya menggunakan sudut pandang dari salah satu pihak.
Pada tabel 2 dapat dilihat penelitian terdahulu yang dilakukan terkait dengan supply chain flexibility. Dari penelitian terdahulu diperoleh beberapa gap, yaitu:
  1. Hanya berfokus pada plant/firm, bukan supply chain
  2. Hanya pada 1st tier Supply Chain Relationships
  3. Data diperoleh dari long-distance questionnaire, sehingga perlu dibuat sebuah semi-structure interview
  4. Hanya berfokus pada satu komponen fleksibilitas dan dampaknya terhadap FSC, padahal fleksibilitas merupakan sesuatu yang multi-dimensional.
  5. Hanya berupa cross-sectional study, bukan longitudinal study (sebuah penelitian yang melibatkan pengamatan berulang kali untuk hal yang sama selama jangka waktu yang lama)
  6. Hanya melihat dari sudut pandang bahwa fleksibilitas memberikan dampak positif terhadap supply chain dan tidak ada yang melihat dari sisi sebaliknya.
  7. Gagal untuk menangkap peran jasa dalam menciptakan supply chain flexibility padahal jasa merupakan faktor yang penting dalam fleksibilitas.
  8. Perlu mempertimbangkan studi kasus pada SMEs dan subkontraktor yang kebanyakan berada pada bagian hulu (upstream-end) supply chain dimana SMEs kebanyakan bersaing dengan memanfaatkan fleksibilitas yang dimilikinya.
Trade-off and interaction between Supply Chain Flexibility & Uncertainty
Terdapat banyak bentuk uncertainty dalam supply chain, seperti uncertainty dari keandalan pemasok, tindakan pesaing, dan kualitas produk. Salah satu penyebab utama terjadinya uncertainty dalam supply chain adalah jumlah, waktu dan spesifikasi dari permintaan pelanggan dan ini menyebabkan terjadinya bullwhip effect (Forrester, 1958, 1961; Lee et al., 1997; Disney and Towill, 2003). Banyak literatur yang menyatakan bahwa fleksibilitas merupakan respon terhadap uncertainty (Gerwin, 1987; Swamidass and Newell, 1987; Upton, 1995; D’Souza, 2002; Bertrand, 2003; Sheffi and Rice, 2005; White et al., 2005). Namun Pagell and Krause (1999, 2004) merupakan satu-satunya peneliti yang menemukan bahwa tidak ada hubungan antara uncertainty dan flexibility. Trade-off dan interaksi antara uncertainty dan flexibility merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari dalam suatu supply chain. Mengurangi uncertainty akan berakibat terhadap fleksibilitas dari supply chain sehingga hal ini penting untuk diketahui hubungan antara flexibility dan uncertainty.

Design of Supply Chain
Network harus didesain agar fleksibel dan mengurangi uncertainty dan disekitar supply chain utama yang relatif “robust” terhadap perubahan yang terjadi. Desain Supply chain yang baik akan menyebabkan suatu supply chain dapat mengidentifikasi perubahan yang terjadi sebelum hal itu terjadi dan memiliki lebih dari 1 struktur supply chain untuk mengatasi uncertainty. Modular supply chain seperti dual sourcing dapat memberikan flexibilitas dan competitive advantage terhadap supply chain. Selain berpengaruh terhadap desain supply chain, modularity juga penting dalam mendesain information systems, products dan supply chains yang fleksibel. Postponement dan decoupling point/order penetration point merupakan istilah yang sering muncul dalam modularity. Decoupling point adalah suatu keputusan strategis dalam mendesain supply chain dan dipengaruhi oleh karakteristik produk. Decoupling point menimbulkan adanya trade-off pada responsiveness (kecepatan dan fleskibilitas) dan berdampak pada uncertainty. Postponement dalah mempertahankan produk dalam bentuk yang lebih generik untuk waktu yang lebih lama. Dengan melakukan postponement akan meningkatkan kecepatan dan pergerakan produk yang memiliki decoupling point pada bagian upstream sehingga menjadi lebih fleksibel sehingga mengurangi uncertainty (Adler et al., 1999; Fredriksson and Gadde, 2005). Dalam banyak kasus, tidak jelas apakah decoupling point merupakan keputusan strategi yang disengaja diciptakan atau muncul dengan sendirinya (Mintzberg and Waters, 1985).

Supply chain relationships
Untuk menghasilkan suatu jaringan yang fleksibel dan mengurangi uncertainty, maka penting untuk membangun collaborative relationships diseluruh supply chain. Agar hal tersebut dapat dilakukan maka dibutuhkan trust dan commitment, dimana commitment akan mengurangi uncertainty pada supply chain dan menyebabkan supply chain menjadi kurang fleksibel. Long term relationship maka menyebabkan terbentuknya robust supply chain sehingga uncertainty akan berkurang, namun menjadi tidak fleksibel. Sedangkan short term relationship akan menyebabkan suatu supply chain mudah di re-configure yang dapat meningkatkan fleksibilitas. Ini menunjukkan bahwa terdapat trade-off antara flexibility dan uncertainty. Hal ini bertentangan dengan pernyataan bahwa flexibility merupakan respon terhadap uncertainty dimana bila fleksibilitas meningkat maka uncertainty berkurang.

Information sharing and inter-organizational information system
Sharing information penting didalam supply chain karena dapat menurunkan uncertainty dan menghilangkan bullwhip effect. Sharing information dalam supply chain biasanya dilakukan menggunakan inter-organisational information systems yang menimbulkan beberapa tantangan dalam supply chain terkait cost effectiveness dimana untuk memperoleh keuntuangan penuh dari penerapan, maka sedapat mungkin semua perusahaan tergabung didalamnya. Namun SMEs yang biasa berada pada bagian hulu supply chain memiliki keterbatasan dana sehingga tidak ikut ambil bagian, selain itu keuntungan yang diperoleh dari sistem tidak sama untuk semua pengguna sehingga akan mengurangi keinginan dari beberapa pihak untuk menerapkannya. Agar suatu supply chain dapat fleksibel seutuhnya, maka penting untuk dapat meniadakan/menghilangkan suatu hubungan dan membentuk hubungan baru dalam suatu supply chain secara mudah. Integrasi dan fleksibilitas dari inter-organisational information systems saling terkait dan memiliki hubungan yang berkebalikan. Meningkatkan integrasi akan menurunkan fleksibilitas dimana integrasi membutuhkan suatu komitmen sehingga supply chain menjadi tidak fleksibel dan sebaliknya.

Final Remarks
Kemampuan untuk mempertahankan supply chain yang fleksibel dan responsive merupakan suatu kemampuan strategis penting yang harus dimiliki. Penelitian terdahulu terkait supply chain flexibility kebanyakan hanya berfokus pada manufacture, fungsi procurement, dan hubungan dyad. Selain itu penelitian empiris yang dilakukan kebanyakan menggunakan cross-sectional, cross-industry postal questionnaires pada level firm dimana gagal untuk menganalisa dampak dari fleksibilitas yang terjadi disepanjang supply chain. Kontibusi yang diperoleh dalam penelitian ini adalah:
  • Sebuah review terkait literatur supply chain flexibility terdahulu dan memberikan deskripsi yang lebih lengkap tentang supply chain flexibility.
  • Penulis menemukan bahwa perlunya dilakukan studi empiris terkait supply chain flexibility dimana penelitian tersebut melibatkan pengamatan berulang kali untuk hal yang sama selama jangka waktu yang lama (longitudinally) disepanjang jaringan yang ada, karena supply chain merupakan satu kesatuan unit yang  di analisa
  • Dalam penelitian yang akan datang, dapat diselidiki mengenai dampak dari strategi fleksibilitas terhadap pengurangan uncertainty dalam supply chain.
  • Para peneliti berusaha untuk mengidentifikasi masalah dengan melakukan studi empiris ke dalam supply chain flexibility.
Source : http://www.centerscm.org/?p=332