Sabtu, 17 Desember 2011

Review Jurnal


FLEXIBILITY FROM A SUPPLY CHAIN PERSPECTIVE: DEFINITION AND REVIEW

Mark Stevenson and Martin Spring (2007)

International Journal of Operations & Production Management Vol. 27 (7), 685-713

Pendahuluan Market saat ini menginginkan produk yang lebih customized  dengan lead time yang pendek sehingga menyebabkan perusahaan harus lebih fleksibel. Fleksibilitas penting dalam mencapai keinginan pelanggan dan meningkatkan responsiveness. Dalam Manajemen Operasi, sering juga dibahas mengenai masalah fleksibilitas dimana ditinjau dari sudut pandang perusahaan. Namun masalah flexibilitas yang dibahas hanya terkait dengan intra-organizational components (mix, product, volume, and routing flexibility) dan lingkungan kerja. Adanya outsourcing menyebabkan kepercayaan dari perusahaan kepada penyedia jasa dan supplier semakin meningkat sehingga perusahaan semakin sadar akan pentingnya mengelola dan mengintegrasikan nilai-nilai yang ada dalam supply chain. Ini menyebabkan flexibility yang ada bukan lagi hanya pada level perusahaan, tapi berada pada level supply chain (Flexible Supply Chain). Namun sampai saat ini belum ada upaya untuk menyajikan kajian literatur terhadap penelitian yang telah dilakukan terkait dengan supply chain flexibility. Penelitian yang ada hanya membahas mengenai masalah teoritis dan konseptual dari flexibility sampai melakukan studi eksplorasi empiris saja. Sehingga perlu menggambarkan kemajuan penelitian terkait supply chain flexibility untuk memberikan gambaran tetang penelitian yang akan datang.

Tujuan dan Batasan
Dalam penelitian ini, ingin disajikan suatu literatur terkait supply chain flexibility dimana bukan saja membahas mengenai komponen yang melekat pada intra-firm level namun juga pada inter-firm level. Penelitian ini ingin memfokuskan pada komponen fleksibilitas dari inter-firm dan tidak membahas mengenai masalah terkait intra-firm yang biasanya dibahas pada banyak penelitian terdahulu. Pada penelitian terdahulu, banyak penelitian terkait supply chain flexibility yang sudah dilakukan namun semuanya tidak memfokuskan supply chain flexibility sebagai inti dari penelitian yang dilakukan. Maka penelitian ini ingin membahas mengenai supply chain flexibility secara eksplisit sebagai fokus dari penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan judul, kata kunci, dan abstrak. Data yang digunakan berasal dari MetalibTM database yang berisi kumpulan literatur terkait business and management dan disimpan menggunkan software Endnote ©. Tujuan dari penelitian yang dilakukan:
  • Menggali lebih dalam pengertian fleksibitas dalam konteks supply chain
  • Memberikan tinjauan terkait literatur Supply chain flexibility yang ada.
Defining Supply Chain Flexibility
Supply chain didefinisikan sebagai kelompok perusahaan yang terlibat dalam rangkaian kegiatan produksi dan distribusi yang dibutuhkan untuk melayani end-customer. Christopher (1998) mendefiniskan supply chain sebagai jaringan organisasi (network of organizations) yang terlibat, yang terhubung dari hulu sampai hilir, dengan proses dan kegiatan yang berbeda untuk menghasilkan nilai dalam bentuk produk dan layanan di tangan konsumen akhir. Dimana dia mendefinisikan network sebagai gabungan lebih dari 2 perusahaan. Dalam litertur terkait manufacturing flexibility, definisi dari flexibility dilihat dari beberapa sudut padang serta konteks yang berbeda oleh beberapa peneliti. Misalnya definisi flexibility yang diberikan oleh Slack (1983) dan Upton (1994) dikaitkan dengan range, mobility, dan uniformity. Koste and Malhotra (1999) kemudian menambahkannya menjadi range-number, range-heterogeneity, mobility, dan uniformity. Terdapat beberapa komponen yang mempengaruhi fleksibilitas pada suatu perusahaan. Slack (1983) menyatakan bahwa terdapat 5 tipe/komponen dari fleksibilitas (new product, product mix, quality, volume, delivery). Gerwin (1978) menyatakan bahwa terdapat 7 tipe. Koste and Malhotra (1999) dan Narasimhan and Das (2000) menambahkannya menjadi 10 tipe, sedangkan Vokurka and O’Leary-Kelly (2000) menambahkannya menjadi 15 tipe (machine, material handling, operations, automation, labour, process, routing, product, new design, delivery, volume, expansion, program, production and market). Secara umum, prinsip fleksibilitas dalam supply chain adalah:
  • multi-dimensional
  • elemen fleksibilitas memiliki tingkat kepentingan yang berbeda pada lingkungan yang berbeda.
  • kapabilitas yang tidak harus ditunjukkan
Terdapat beberapa definisi yang berbeda terkait supply chain flexibility, Das and Abdel-Malek (2003) mendefisikan sebagai “elasticity” dari hubungan buyer-supplier pada kondisi supply yang berubah-ubah. Ferdows (1997) mendefisikannya sebagai “robust networks,” sebuah jaringan yang dapat mengatasi perubahan dalam lingkungan yang kompetitif tanpa menyebabkan perubahan ekstrim. Sedangkan Easton and Rothschild (1987) mendefisikannya sebagai “adaptability”, kemampuan untuk melakukan re-design dan re-configure terhadap chain yang ada. Dari beberapa pengertian tersebut, supply chain flexibility dapat didefisikan sebagai respon dari perubahan permintaan. Beberapa peneliti juga telah menjabarkan komponen dari supply chain flexibility, dimana hampir sama dengan komponen dari flexibility pada tingkat manufacture. Lummus et al. (2003) menyatakan bahwa terdapat 6 komponen supply chain flexibility, yaitu operational system, logistics processes, supply network, organisational design flexibility, dan information systems flexibility. Sedangkan Gosain et al. (2005) hanya mengkategorikankan kedalam offering flexibility dan partnering flexibility. Vickery et al. (1999) dan Sanchez and Perez (2005) menjabarkan komponen dari supply chain flexibility kedalam 7 komponen, yaitu product, volume, launch (or new product), distribution (or delivery), postponement, sourcing, dan responsiveness (to target markets) flexibility. Berikut ini merupakan 5 elemen yang dapat memberikan gambaran menyeluruh mengenai pengertian dari supply chain flexibility:
–        Robust network (or rigid) flexibility, cakupan dari kejadian/keadaan yang masih dapat diatasi oleh kondisi supply chain yang ada tanpa merubah supply chain tersebut.
–        Re-configuration flexibility, kemudahan supply chain dalam melakukan re-configured (adaptability).
–        Active flexibility, kemampuan dalam menanggapi perubahan dalam supply chain.
–        Dormant (or potential) flexibility, fleksibilitas dari supply chain tidak perlu dibuktikan
–        Network alignment, setiap entitas berfokus dalam menyelaraskan kemampuannya untuk mencapai tujuan dari supply chain. Tabel 1 menyajikan komponen fleksibilitas mulai dari fleksibilitas operasional di lantai produksi sampai supply chain flexibility di tingkat jaringan (network).
Hierarchical Level
Flexibility Dimension
Operational flexibilities (resource and shop floor level)
Machine, Material Handling, Operations, Automation, Labour, Process, Program, Output
Tactical flexibilities (plant level)
Product/modification, Volume, Delivery, Production
Strategic flexibilities (firm level)
New Design, Expansion, Market
Supply chain flexibilities (network level)
Robustness, Re-configutation, Relationship, Logistics, Organisational, Inter-organisational, Information system (IS)
Tabel 1. Komponen Fleksibilitas

Measuring the Flexibility of Supply Chain
Banyak penelitian yang berfokus pada pengukuran manufacture flexibility, namun sulit untuk mengukur fleksibilitas karena alat ukurnya subjektif dan situasional (tidak general) serta fleksibilitas adalah sesuatu yang multi-dimensional dimana 2 supply chain dapat fleksibel, namun dengan cara yang berbeda. Disamping itu, masih sangat sedikit literatur yang membahas mengenai cara untuk mengukur fleksibilitas dalam supply chain. Peneltitian terkait pengukuran fleksibilitas dalam supply chain dapat dibagi dalam pengukuran menggunakan hard factor (Beamon, 1999; Giachetti et al., 2003), pengukuran secara langsung. Dan pengukuran menggunakan soft factor (Gupta and Nehra, 2002; Pujawan, 2004), menggunakan skala likert dan pendapat ahli. Walaupun peneltian yang dilakukan memberikan kontribusi, namun hanya beberapa komponen dari supply chain flexibility yang dipertimbangkan dan belum digambarkan secara jelas bagaimana hal tersebut dapat diterapkan pada kondisi nyata. Disamping itu masih sangat sulit untuk membandingkan fleksibilitas antara suatu supply chain dengan supply chain yang lain karena dibutuhkan ukuran yang lebih komprehensif dan objektif dalam mengukur supply chain flexibility.

Supply Chain Flexibility: a review and research agenda
Penelitian terdahulu terkait supply chain flexibility dapat dikategorikan kedalam 4 kategori, yaitu:
  1. Linking the firm to the wider supply chain, hampir semua penelitian terdahulu membahas mengenai volume flexibility (faktor penting dalam manufacture flexibility). Namun tiap supply chain memiliki komponen fleksibilitas yang berbeda sehingga perlu menggabungkan volume flexibility dengan komponen fleksibilitas lain.
  2. The design of supply chain, semua penelitian terdahulu memiliki keterbatasan dalam mengambarkan kondisi supply chain yang ada dalam kenyataan sehingga perlu dilakukan eksplorasi terkait hubungan antara desain supply chain dan fleksibilitas dalam cakupan yang lebih luas sehingga bukan lagi single-stage namun menjadi multi-stage.
  3. Supply chain relationships, penelitian terdahulu mengkaitkan dengan procurement flexibility dimana banyak terdapat unsur intangible. Disamping itu hampir semua penelitian hanya dilihat dari sudut pandang supplier dan penelitian yang dilakukan kebanyakan hanya pada 1st tier relationship. Belum ada yang mengambarkan joint benefit yang terjadi dari fleksibilitas pada buyer-supplier relationships.
  4. Information sharing and inter-organizational information systems, semua penelitian terdahulu mengatakan bahwa information sharing dan information systems memberikan dampak positif terhadap fleksibilitas. Selain itu initiator memperoleh keuntungan yang lebih dibandingkan dengan non-initiator dalam penerapan inter-organizational system. Namun penelitian yang dilakukan, hanya menggunakan sudut pandang dari salah satu pihak.
Pada tabel 2 dapat dilihat penelitian terdahulu yang dilakukan terkait dengan supply chain flexibility. Dari penelitian terdahulu diperoleh beberapa gap, yaitu:
  1. Hanya berfokus pada plant/firm, bukan supply chain
  2. Hanya pada 1st tier Supply Chain Relationships
  3. Data diperoleh dari long-distance questionnaire, sehingga perlu dibuat sebuah semi-structure interview
  4. Hanya berfokus pada satu komponen fleksibilitas dan dampaknya terhadap FSC, padahal fleksibilitas merupakan sesuatu yang multi-dimensional.
  5. Hanya berupa cross-sectional study, bukan longitudinal study (sebuah penelitian yang melibatkan pengamatan berulang kali untuk hal yang sama selama jangka waktu yang lama)
  6. Hanya melihat dari sudut pandang bahwa fleksibilitas memberikan dampak positif terhadap supply chain dan tidak ada yang melihat dari sisi sebaliknya.
  7. Gagal untuk menangkap peran jasa dalam menciptakan supply chain flexibility padahal jasa merupakan faktor yang penting dalam fleksibilitas.
  8. Perlu mempertimbangkan studi kasus pada SMEs dan subkontraktor yang kebanyakan berada pada bagian hulu (upstream-end) supply chain dimana SMEs kebanyakan bersaing dengan memanfaatkan fleksibilitas yang dimilikinya.
Trade-off and interaction between Supply Chain Flexibility & Uncertainty
Terdapat banyak bentuk uncertainty dalam supply chain, seperti uncertainty dari keandalan pemasok, tindakan pesaing, dan kualitas produk. Salah satu penyebab utama terjadinya uncertainty dalam supply chain adalah jumlah, waktu dan spesifikasi dari permintaan pelanggan dan ini menyebabkan terjadinya bullwhip effect (Forrester, 1958, 1961; Lee et al., 1997; Disney and Towill, 2003). Banyak literatur yang menyatakan bahwa fleksibilitas merupakan respon terhadap uncertainty (Gerwin, 1987; Swamidass and Newell, 1987; Upton, 1995; D’Souza, 2002; Bertrand, 2003; Sheffi and Rice, 2005; White et al., 2005). Namun Pagell and Krause (1999, 2004) merupakan satu-satunya peneliti yang menemukan bahwa tidak ada hubungan antara uncertainty dan flexibility. Trade-off dan interaksi antara uncertainty dan flexibility merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari dalam suatu supply chain. Mengurangi uncertainty akan berakibat terhadap fleksibilitas dari supply chain sehingga hal ini penting untuk diketahui hubungan antara flexibility dan uncertainty.

Design of Supply Chain
Network harus didesain agar fleksibel dan mengurangi uncertainty dan disekitar supply chain utama yang relatif “robust” terhadap perubahan yang terjadi. Desain Supply chain yang baik akan menyebabkan suatu supply chain dapat mengidentifikasi perubahan yang terjadi sebelum hal itu terjadi dan memiliki lebih dari 1 struktur supply chain untuk mengatasi uncertainty. Modular supply chain seperti dual sourcing dapat memberikan flexibilitas dan competitive advantage terhadap supply chain. Selain berpengaruh terhadap desain supply chain, modularity juga penting dalam mendesain information systems, products dan supply chains yang fleksibel. Postponement dan decoupling point/order penetration point merupakan istilah yang sering muncul dalam modularity. Decoupling point adalah suatu keputusan strategis dalam mendesain supply chain dan dipengaruhi oleh karakteristik produk. Decoupling point menimbulkan adanya trade-off pada responsiveness (kecepatan dan fleskibilitas) dan berdampak pada uncertainty. Postponement dalah mempertahankan produk dalam bentuk yang lebih generik untuk waktu yang lebih lama. Dengan melakukan postponement akan meningkatkan kecepatan dan pergerakan produk yang memiliki decoupling point pada bagian upstream sehingga menjadi lebih fleksibel sehingga mengurangi uncertainty (Adler et al., 1999; Fredriksson and Gadde, 2005). Dalam banyak kasus, tidak jelas apakah decoupling point merupakan keputusan strategi yang disengaja diciptakan atau muncul dengan sendirinya (Mintzberg and Waters, 1985).

Supply chain relationships
Untuk menghasilkan suatu jaringan yang fleksibel dan mengurangi uncertainty, maka penting untuk membangun collaborative relationships diseluruh supply chain. Agar hal tersebut dapat dilakukan maka dibutuhkan trust dan commitment, dimana commitment akan mengurangi uncertainty pada supply chain dan menyebabkan supply chain menjadi kurang fleksibel. Long term relationship maka menyebabkan terbentuknya robust supply chain sehingga uncertainty akan berkurang, namun menjadi tidak fleksibel. Sedangkan short term relationship akan menyebabkan suatu supply chain mudah di re-configure yang dapat meningkatkan fleksibilitas. Ini menunjukkan bahwa terdapat trade-off antara flexibility dan uncertainty. Hal ini bertentangan dengan pernyataan bahwa flexibility merupakan respon terhadap uncertainty dimana bila fleksibilitas meningkat maka uncertainty berkurang.

Information sharing and inter-organizational information system
Sharing information penting didalam supply chain karena dapat menurunkan uncertainty dan menghilangkan bullwhip effect. Sharing information dalam supply chain biasanya dilakukan menggunakan inter-organisational information systems yang menimbulkan beberapa tantangan dalam supply chain terkait cost effectiveness dimana untuk memperoleh keuntuangan penuh dari penerapan, maka sedapat mungkin semua perusahaan tergabung didalamnya. Namun SMEs yang biasa berada pada bagian hulu supply chain memiliki keterbatasan dana sehingga tidak ikut ambil bagian, selain itu keuntungan yang diperoleh dari sistem tidak sama untuk semua pengguna sehingga akan mengurangi keinginan dari beberapa pihak untuk menerapkannya. Agar suatu supply chain dapat fleksibel seutuhnya, maka penting untuk dapat meniadakan/menghilangkan suatu hubungan dan membentuk hubungan baru dalam suatu supply chain secara mudah. Integrasi dan fleksibilitas dari inter-organisational information systems saling terkait dan memiliki hubungan yang berkebalikan. Meningkatkan integrasi akan menurunkan fleksibilitas dimana integrasi membutuhkan suatu komitmen sehingga supply chain menjadi tidak fleksibel dan sebaliknya.

Final Remarks
Kemampuan untuk mempertahankan supply chain yang fleksibel dan responsive merupakan suatu kemampuan strategis penting yang harus dimiliki. Penelitian terdahulu terkait supply chain flexibility kebanyakan hanya berfokus pada manufacture, fungsi procurement, dan hubungan dyad. Selain itu penelitian empiris yang dilakukan kebanyakan menggunakan cross-sectional, cross-industry postal questionnaires pada level firm dimana gagal untuk menganalisa dampak dari fleksibilitas yang terjadi disepanjang supply chain. Kontibusi yang diperoleh dalam penelitian ini adalah:
  • Sebuah review terkait literatur supply chain flexibility terdahulu dan memberikan deskripsi yang lebih lengkap tentang supply chain flexibility.
  • Penulis menemukan bahwa perlunya dilakukan studi empiris terkait supply chain flexibility dimana penelitian tersebut melibatkan pengamatan berulang kali untuk hal yang sama selama jangka waktu yang lama (longitudinally) disepanjang jaringan yang ada, karena supply chain merupakan satu kesatuan unit yang  di analisa
  • Dalam penelitian yang akan datang, dapat diselidiki mengenai dampak dari strategi fleksibilitas terhadap pengurangan uncertainty dalam supply chain.
  • Para peneliti berusaha untuk mengidentifikasi masalah dengan melakukan studi empiris ke dalam supply chain flexibility.
Source : http://www.centerscm.org/?p=332

1 komentar:

  1. apakah hingga sekarang ada penelitian empiris mengenai supply chain flexibility ?

    BalasHapus