FLEXIBILITY FROM A SUPPLY CHAIN PERSPECTIVE: DEFINITION AND REVIEW
Mark Stevenson and Martin Spring (2007)
International Journal of Operations & Production Management Vol. 27 (7), 685-713
Pendahuluan Market saat ini menginginkan produk yang
lebih customized dengan lead time yang pendek sehingga
menyebabkan perusahaan harus lebih fleksibel. Fleksibilitas penting dalam
mencapai keinginan pelanggan dan meningkatkan responsiveness. Dalam Manajemen Operasi,
sering juga dibahas mengenai masalah fleksibilitas dimana ditinjau dari sudut
pandang perusahaan. Namun masalah flexibilitas yang dibahas hanya terkait
dengan intra-organizational
components (mix, product, volume, and routing flexibility) dan lingkungan kerja.
Adanya outsourcing
menyebabkan kepercayaan dari perusahaan kepada penyedia jasa dan supplier
semakin meningkat sehingga perusahaan semakin sadar akan pentingnya mengelola
dan mengintegrasikan nilai-nilai yang ada dalam supply chain.
Ini menyebabkan flexibility
yang ada bukan lagi hanya pada level perusahaan, tapi berada pada level supply chain (Flexible Supply Chain).
Namun sampai saat ini belum ada upaya untuk menyajikan kajian literatur
terhadap penelitian yang telah dilakukan terkait dengan supply chain flexibility.
Penelitian yang ada hanya membahas mengenai masalah teoritis dan konseptual
dari flexibility
sampai melakukan studi eksplorasi empiris saja. Sehingga perlu menggambarkan
kemajuan penelitian terkait supply chain flexibility
untuk memberikan gambaran tetang penelitian yang akan datang.
Tujuan dan
Batasan
Dalam
penelitian ini, ingin disajikan suatu literatur terkait supply chain flexibility
dimana bukan saja membahas mengenai komponen yang melekat pada intra-firm level namun juga pada inter-firm level.
Penelitian ini ingin memfokuskan pada komponen fleksibilitas dari inter-firm dan tidak
membahas mengenai masalah terkait intra-firm yang biasanya dibahas pada
banyak penelitian terdahulu. Pada penelitian terdahulu, banyak penelitian
terkait supply chain
flexibility yang sudah dilakukan namun semuanya tidak
memfokuskan supply
chain flexibility sebagai inti dari penelitian yang
dilakukan. Maka penelitian ini ingin membahas mengenai supply chain flexibility secara
eksplisit sebagai fokus dari penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan judul, kata kunci, dan abstrak. Data yang digunakan berasal dari
MetalibTM database
yang berisi kumpulan literatur terkait business and management dan disimpan
menggunkan software Endnote ©. Tujuan dari penelitian yang dilakukan:
- Menggali lebih dalam pengertian fleksibitas dalam konteks supply chain
- Memberikan tinjauan terkait literatur Supply chain flexibility yang ada.
Defining Supply Chain Flexibility
Supply chain didefinisikan sebagai kelompok perusahaan yang terlibat dalam
rangkaian kegiatan produksi dan distribusi yang dibutuhkan untuk melayani end-customer.
Christopher (1998) mendefiniskan supply chain sebagai jaringan organisasi
(network of
organizations) yang terlibat, yang terhubung dari hulu
sampai hilir, dengan proses dan kegiatan yang berbeda untuk menghasilkan nilai
dalam bentuk produk dan layanan di tangan konsumen akhir. Dimana dia
mendefinisikan network
sebagai gabungan lebih dari 2 perusahaan. Dalam litertur terkait manufacturing flexibility,
definisi dari flexibility
dilihat dari beberapa sudut padang serta konteks yang berbeda oleh beberapa
peneliti. Misalnya definisi flexibility yang diberikan oleh Slack
(1983) dan Upton (1994) dikaitkan dengan range, mobility, dan uniformity.
Koste and Malhotra (1999) kemudian menambahkannya menjadi range-number,
range-heterogeneity, mobility, dan uniformity.
Terdapat beberapa komponen yang mempengaruhi fleksibilitas pada suatu
perusahaan. Slack (1983) menyatakan bahwa terdapat 5 tipe/komponen dari
fleksibilitas (new
product, product mix, quality, volume, delivery). Gerwin
(1978) menyatakan bahwa terdapat 7 tipe. Koste and Malhotra (1999) dan
Narasimhan and Das (2000) menambahkannya menjadi 10 tipe, sedangkan Vokurka and
O’Leary-Kelly (2000) menambahkannya menjadi 15 tipe (machine, material handling,
operations, automation, labour, process, routing, product, new design,
delivery, volume, expansion, program, production and market).
Secara umum, prinsip fleksibilitas dalam supply chain adalah:
- multi-dimensional
- elemen fleksibilitas memiliki tingkat kepentingan yang berbeda pada lingkungan yang berbeda.
- kapabilitas yang tidak harus ditunjukkan
Terdapat
beberapa definisi yang berbeda terkait supply chain flexibility, Das and
Abdel-Malek (2003) mendefisikan sebagai “elasticity” dari hubungan buyer-supplier
pada kondisi supply
yang berubah-ubah. Ferdows (1997) mendefisikannya sebagai “robust networks,”
sebuah jaringan yang dapat mengatasi perubahan dalam lingkungan yang kompetitif
tanpa menyebabkan perubahan ekstrim. Sedangkan Easton and Rothschild (1987)
mendefisikannya sebagai “adaptability”, kemampuan untuk melakukan re-design dan re-configure
terhadap chain
yang ada. Dari beberapa pengertian tersebut, supply chain flexibility
dapat didefisikan sebagai respon dari perubahan permintaan. Beberapa peneliti
juga telah menjabarkan komponen dari supply chain flexibility, dimana hampir
sama dengan komponen dari flexibility pada tingkat manufacture. Lummus et al. (2003) menyatakan
bahwa terdapat 6 komponen supply chain flexibility, yaitu operational system, logistics
processes, supply network, organisational design flexibility,
dan information systems
flexibility. Sedangkan Gosain et al. (2005) hanya
mengkategorikankan kedalam offering flexibility dan partnering flexibility.
Vickery et al. (1999) dan Sanchez and Perez (2005) menjabarkan komponen dari supply chain flexibility
kedalam 7 komponen, yaitu product, volume, launch (or new product), distribution (or delivery),
postponement, sourcing, dan responsiveness (to target
markets) flexibility. Berikut ini merupakan 5 elemen yang
dapat memberikan gambaran menyeluruh mengenai pengertian dari supply chain flexibility:
–
Robust network (or
rigid) flexibility, cakupan dari kejadian/keadaan yang masih
dapat diatasi oleh kondisi supply chain yang ada tanpa merubah supply chain
tersebut.
–
Re-configuration
flexibility, kemudahan supply chain dalam melakukan re-configured
(adaptability).
–
Active flexibility,
kemampuan dalam menanggapi perubahan dalam supply chain.
–
Dormant (or potential)
flexibility, fleksibilitas dari supply chain tidak perlu
dibuktikan
–
Network alignment,
setiap entitas berfokus dalam menyelaraskan kemampuannya untuk mencapai tujuan
dari supply chain.
Tabel 1 menyajikan komponen fleksibilitas mulai dari fleksibilitas operasional
di lantai produksi sampai supply chain flexibility di tingkat jaringan (network).
Hierarchical Level
|
Flexibility Dimension
|
Operational flexibilities
(resource and shop floor level)
|
Machine, Material Handling,
Operations, Automation, Labour, Process, Program, Output
|
Tactical flexibilities (plant
level)
|
Product/modification, Volume,
Delivery, Production
|
Strategic flexibilities (firm
level)
|
New Design, Expansion, Market
|
Supply chain flexibilities
(network level)
|
Robustness, Re-configutation,
Relationship, Logistics, Organisational, Inter-organisational, Information
system (IS)
|
Tabel 1.
Komponen Fleksibilitas
Measuring the Flexibility of Supply Chain
Banyak
penelitian yang berfokus pada pengukuran manufacture flexibility, namun sulit
untuk mengukur fleksibilitas karena alat ukurnya subjektif dan situasional
(tidak general) serta fleksibilitas adalah sesuatu yang multi-dimensional
dimana 2 supply chain dapat fleksibel, namun
dengan cara yang berbeda. Disamping itu, masih sangat sedikit literatur yang
membahas mengenai cara untuk mengukur fleksibilitas dalam supply chain.
Peneltitian terkait pengukuran fleksibilitas dalam supply chain dapat dibagi dalam
pengukuran menggunakan hard
factor (Beamon, 1999; Giachetti et al., 2003), pengukuran
secara langsung. Dan pengukuran menggunakan soft factor (Gupta and Nehra, 2002;
Pujawan, 2004), menggunakan skala likert dan pendapat ahli. Walaupun peneltian
yang dilakukan memberikan kontribusi, namun hanya beberapa komponen dari supply chain flexibility
yang dipertimbangkan dan belum digambarkan secara jelas bagaimana hal tersebut
dapat diterapkan pada kondisi nyata. Disamping itu masih sangat sulit untuk
membandingkan fleksibilitas antara suatu supply chain dengan supply chain
yang lain karena dibutuhkan ukuran yang lebih komprehensif dan objektif dalam
mengukur supply chain
flexibility.
Supply Chain Flexibility: a review and research agenda
Penelitian
terdahulu terkait supply
chain flexibility dapat dikategorikan kedalam 4 kategori,
yaitu:
- Linking the firm to the wider supply chain, hampir semua penelitian terdahulu membahas mengenai volume flexibility (faktor penting dalam manufacture flexibility). Namun tiap supply chain memiliki komponen fleksibilitas yang berbeda sehingga perlu menggabungkan volume flexibility dengan komponen fleksibilitas lain.
- The design of supply chain, semua penelitian terdahulu memiliki keterbatasan dalam mengambarkan kondisi supply chain yang ada dalam kenyataan sehingga perlu dilakukan eksplorasi terkait hubungan antara desain supply chain dan fleksibilitas dalam cakupan yang lebih luas sehingga bukan lagi single-stage namun menjadi multi-stage.
- Supply chain relationships, penelitian terdahulu mengkaitkan dengan procurement flexibility dimana banyak terdapat unsur intangible. Disamping itu hampir semua penelitian hanya dilihat dari sudut pandang supplier dan penelitian yang dilakukan kebanyakan hanya pada 1st tier relationship. Belum ada yang mengambarkan joint benefit yang terjadi dari fleksibilitas pada buyer-supplier relationships.
- Information sharing and inter-organizational information systems, semua penelitian terdahulu mengatakan bahwa information sharing dan information systems memberikan dampak positif terhadap fleksibilitas. Selain itu initiator memperoleh keuntungan yang lebih dibandingkan dengan non-initiator dalam penerapan inter-organizational system. Namun penelitian yang dilakukan, hanya menggunakan sudut pandang dari salah satu pihak.
Pada tabel 2
dapat dilihat penelitian terdahulu yang dilakukan terkait dengan supply chain flexibility.
Dari penelitian terdahulu diperoleh beberapa gap, yaitu:
- Hanya berfokus pada plant/firm, bukan supply chain
- Hanya pada 1st tier Supply Chain Relationships
- Data diperoleh dari long-distance questionnaire, sehingga perlu dibuat sebuah semi-structure interview
- Hanya berfokus pada satu komponen fleksibilitas dan dampaknya terhadap FSC, padahal fleksibilitas merupakan sesuatu yang multi-dimensional.
- Hanya berupa cross-sectional study, bukan longitudinal study (sebuah penelitian yang melibatkan pengamatan berulang kali untuk hal yang sama selama jangka waktu yang lama)
- Hanya melihat dari sudut pandang bahwa fleksibilitas memberikan dampak positif terhadap supply chain dan tidak ada yang melihat dari sisi sebaliknya.
- Gagal untuk menangkap peran jasa dalam menciptakan supply chain flexibility padahal jasa merupakan faktor yang penting dalam fleksibilitas.
- Perlu mempertimbangkan studi kasus pada SMEs dan subkontraktor yang kebanyakan berada pada bagian hulu (upstream-end) supply chain dimana SMEs kebanyakan bersaing dengan memanfaatkan fleksibilitas yang dimilikinya.
Terdapat
banyak bentuk uncertainty
dalam supply chain,
seperti uncertainty
dari keandalan pemasok, tindakan pesaing, dan kualitas produk. Salah satu
penyebab utama terjadinya uncertainty dalam supply chain adalah jumlah, waktu dan
spesifikasi dari permintaan pelanggan dan ini menyebabkan terjadinya bullwhip effect
(Forrester, 1958, 1961; Lee et al., 1997; Disney and Towill, 2003). Banyak
literatur yang menyatakan bahwa fleksibilitas merupakan respon terhadap uncertainty
(Gerwin, 1987; Swamidass and Newell, 1987; Upton, 1995; D’Souza, 2002;
Bertrand, 2003; Sheffi and Rice, 2005; White et al., 2005). Namun Pagell and
Krause (1999, 2004) merupakan satu-satunya peneliti yang menemukan bahwa tidak
ada hubungan antara uncertainty
dan flexibility.
Trade-off
dan interaksi antara uncertainty
dan flexibility
merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari dalam suatu supply chain.
Mengurangi uncertainty
akan berakibat terhadap fleksibilitas dari supply chain sehingga hal ini penting
untuk diketahui hubungan antara flexibility
dan uncertainty.
Network harus
didesain agar fleksibel dan mengurangi uncertainty dan disekitar supply chain
utama yang relatif “robust”
terhadap perubahan yang terjadi. Desain Supply chain yang baik akan menyebabkan
suatu supply chain dapat mengidentifikasi
perubahan yang terjadi sebelum hal itu terjadi dan memiliki lebih dari 1
struktur supply chain
untuk mengatasi uncertainty.
Modular supply chain
seperti dual sourcing
dapat memberikan flexibilitas dan competitive advantage terhadap supply chain.
Selain berpengaruh terhadap desain supply chain, modularity
juga penting dalam mendesain information systems, products dan supply chains yang
fleksibel. Postponement
dan decoupling point/order penetration point
merupakan istilah yang sering muncul dalam modularity. Decoupling point adalah
suatu keputusan strategis dalam mendesain supply chain dan dipengaruhi oleh
karakteristik produk. Decoupling
point menimbulkan adanya trade-off pada responsiveness
(kecepatan dan fleskibilitas) dan berdampak pada uncertainty. Postponement dalah
mempertahankan produk dalam bentuk yang lebih generik untuk waktu yang lebih
lama. Dengan melakukan postponement
akan meningkatkan kecepatan dan pergerakan produk yang memiliki decoupling point
pada bagian upstream
sehingga menjadi lebih fleksibel sehingga mengurangi uncertainty
(Adler et al., 1999; Fredriksson and Gadde, 2005). Dalam banyak kasus, tidak
jelas apakah decoupling
point merupakan keputusan strategi yang disengaja diciptakan
atau muncul dengan sendirinya (Mintzberg and Waters, 1985).
Untuk
menghasilkan suatu jaringan yang fleksibel dan mengurangi uncertainty,
maka penting untuk membangun collaborative relationships diseluruh supply chain.
Agar hal tersebut dapat dilakukan maka dibutuhkan trust dan commitment, dimana commitment
akan mengurangi uncertainty
pada supply chain
dan menyebabkan supply
chain menjadi kurang fleksibel. Long term relationship maka
menyebabkan terbentuknya robust supply chain
sehingga uncertainty
akan berkurang, namun menjadi tidak fleksibel. Sedangkan short term relationship akan
menyebabkan suatu supply
chain mudah di re-configure yang dapat meningkatkan
fleksibilitas. Ini menunjukkan bahwa terdapat trade-off antara flexibility
dan uncertainty.
Hal ini bertentangan dengan pernyataan bahwa flexibility merupakan respon terhadap uncertainty
dimana bila fleksibilitas meningkat maka uncertainty berkurang.
Sharing information penting didalam supply chain karena dapat
menurunkan uncertainty
dan menghilangkan bullwhip
effect. Sharing information dalam supply chain
biasanya dilakukan menggunakan inter-organisational information systems
yang menimbulkan beberapa tantangan dalam supply chain terkait cost effectiveness
dimana untuk memperoleh keuntuangan penuh dari penerapan, maka sedapat mungkin
semua perusahaan tergabung didalamnya. Namun SMEs yang biasa berada pada bagian
hulu supply chain
memiliki keterbatasan dana sehingga tidak ikut ambil bagian, selain itu
keuntungan yang diperoleh dari sistem tidak sama untuk semua pengguna sehingga
akan mengurangi keinginan dari beberapa pihak untuk menerapkannya. Agar suatu supply chain
dapat fleksibel seutuhnya, maka penting untuk dapat meniadakan/menghilangkan
suatu hubungan dan membentuk hubungan baru dalam suatu supply chain
secara mudah. Integrasi dan fleksibilitas dari inter-organisational information systems saling
terkait dan memiliki hubungan yang berkebalikan. Meningkatkan integrasi akan
menurunkan fleksibilitas dimana integrasi membutuhkan suatu komitmen sehingga supply chain
menjadi tidak fleksibel dan sebaliknya.
Kemampuan
untuk mempertahankan supply
chain yang fleksibel dan responsive merupakan suatu kemampuan
strategis penting yang harus dimiliki. Penelitian terdahulu terkait supply chain flexibility
kebanyakan hanya berfokus pada manufacture, fungsi procurement, dan
hubungan dyad. Selain itu penelitian empiris yang dilakukan kebanyakan menggunakan
cross-sectional,
cross-industry postal
questionnaires pada level firm dimana gagal untuk menganalisa
dampak dari fleksibilitas yang terjadi disepanjang supply chain. Kontibusi yang
diperoleh dalam penelitian ini adalah:
- Sebuah review terkait literatur supply chain flexibility terdahulu dan memberikan deskripsi yang lebih lengkap tentang supply chain flexibility.
- Penulis menemukan bahwa perlunya dilakukan studi empiris terkait supply chain flexibility dimana penelitian tersebut melibatkan pengamatan berulang kali untuk hal yang sama selama jangka waktu yang lama (longitudinally) disepanjang jaringan yang ada, karena supply chain merupakan satu kesatuan unit yang di analisa
- Dalam penelitian yang akan datang, dapat diselidiki mengenai dampak dari strategi fleksibilitas terhadap pengurangan uncertainty dalam supply chain.
- Para peneliti berusaha untuk mengidentifikasi masalah dengan melakukan studi empiris ke dalam supply chain flexibility.
apakah hingga sekarang ada penelitian empiris mengenai supply chain flexibility ?
BalasHapus