Sumber: metrotvnews.com, 13 Juni 2011.
SAAT membuka World Economic Forum,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa Indonesia kini sedang
menuju kekuatan ekonomi nomor 10 dunia dengan Produk Domestik Bruto
mencapai 10 triliun dolar AS. Apabila kita mampu memberikan nilai tambah
kepada sumber daya alam yang dimiliki, target tersebut bukanlah sesuatu
yang mustahil.
Persoalan yang kita hadapi, apakah kita
tahu apa yang menjadi kekuatan kita itu? Apakah kita memiliki strategi
untuk mengoptimalkan keunggulan yang kita miliki itu? Apakah kita tahu
bagaimana caranya agar pemberian nilai tambah bisa kita lakukan sendiri?
Mantan Presiden BJ Habibie secara jelas
mengungkapkan bagaimana globalisasi seringkali diterapkan secara keliru.
Globalisasi menjadi penyerahan sumber daya alam kepada bangsa lain.
Nilai tambah itu akhirnya diambil oleh bangsa lain, sehingga akhirnya
melahirkan apa yang disebut sebagai VOC dengan baju baru.
Di sinilah inti persoalan yang kita
hadapi sebagai bangsa. Kita tidak cukup cerdas untuk memanfaatkan
melimpahnya sumber daya alam yang kita miliki. Industri yang kita bangun
tidak mampu menopang dan memetik hasil yang optimal.
Orientasi kepada kepentingan jangka
pendek membuat kita mengeksploitasi sumber daya alam yang kita miliki.
Kita lebih suka mengekspor produk dalam bentuk komoditas daripada barang
jadi. Perekonomian kita cenderung berperilaku seperti ekonomi zaman
kolonial dulu.
Tidak adanya insentif untuk memberikan
nilai tambah membuat kita lebih suka menjual dalam produk mentah.
Apalagi banyak kendala yang harus dihadapi para pengusaha untuk
mengembangkan bisnisnya, membangun industrinya.
Salah satu faktor yang paling mengganggu adalah logistik. Buruknya infrastruktur membuat rantai pasokan (supply chain) terganggu. Akibatnya, biaya yang harus dibayar pengusaha menjadi lebih mahal dan itu mempengaruhi efisiensi.
Contoh paling nyata dari terganggunya
rantai pasokan adalah apa yang terjadi di Pelabuhan Merak. Sejak
berbulan-bulan penyeberangan dari Merak ke Bakahueni terganggu, namun
tidak pernah bisa ditemukan penyelesaian yang tuntas. Hanya beberapa
minggu berjalan baik, kemudian segera tersendat kembali.
Padahal jalur itu sangat krusial
menghubungkan dua pusat ekonomi Indonesia yaitu Jawa dan Sumatera. Kita
bisa bayangkan bagaimana terganggunya pasokan untuk industri dan juga
kebutuhan masyarakat, akibat barang yang tertahan di pelabuhan.
Dalam diskusi yang dilakukan Kementerian
Perindustrian akhir pekan lalu, pengajar Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Muhammad Chatib Basri mengungkapkan bagaimana mengganggu
faktor rantai pasokan terhadap perekonomian kita. Deindustrialisasi yang
kita hadapi terutama disebabkan oleh buruknya faktor rantai pasokan.
Apabila kita ingin mendorong pertumbuhan
ekonomi dan memacu perkembangan industri di dalam negeri, maka yang
harus kita lakukan memperbaiki rantai pasokan ini. Kalau pun kita sulit
untuk membangun infrastruktur yang baru, cukup untuk membuat
infrastruktur yang ada bisa berfungsi lebih optimal.
Sekarang ini, kita selalu mengeluhkan
sulitnya untuk membangun infrastruktur yang baru seperti jalan dan
pelabuhan karena faktor pembebasan lahan. Anehnya, infrastruktur yang
ada dibiarkan dalam kondisi rusak dan akibatnya jalur transportasi
menjadi terganggu.
Kalau saja infrastruktur yang ada bisa
dijaga kualitasnya, maka rantai pasokan tidak terlalu terganggu. Walau
kecepatannya harus tersendat karena kepadatan, namun perjalanan akan
bisa lebih mulus dan ini akan membantu distribusi barang.
Ambisi kita untuk menjadi kekuatan
ekonomi nomor 10 di dunia akan lebih cepat tercapai apabila kita bisa
memperbaiki faktor rantai pasokan. Bahkan pertumbuhan ekonomi tidak
hanya akan semakin menggemukkan kelompok atas saja, tetapi akan mampu
dinikmati oleh lebih banyak anggota masyarakat.
Hukum besi ekonomi mengatakan bahwa
perdagangan akan mengikuti lancarnya jalan. Industri akan mengikuti
perkembangan perdagangan. Sementara perbankan akan mengikuti pertumbuhan
sektor industri.
Semua persoalan yang mengganjal
pertumbuhan ekonomi kita akan terselesaikan oleh perbaikan di sektor
rantai pasokan. Jadi kita sungguh merasa heran apabila di saat Presiden
mencanangkan negara kita menuju ke kekuatan ekonomi nomor 10 dunia,
urusan tersendatnya Pelabuhan Merak saja tidak kunjung bisa kita
tuntaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar